Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia Didukung Oleh Kesesuaian Lahan

Indonesia mungkin dikenal sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun faktanya tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Tanaman kelapa sawit berasal dari kawasan Afrika dan masuk ke Indonesia pada zaman kolonial Belanda saat empat benih kelapa sawit dibawa oleh Dr. D. T. Pryce pada tahun 1848 untuk dijadikan sebagai tumbuhan koleksi Kebun Raya Bogor. Benih ini terdiri atas 2 benih dari Bourbon-Mauritius dan 2 benih dari Amsterdam yang berjenis Dura. Kemudian biji kelapa sawit ini disebarkan ke berbagai daerah baik di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, untuk dijadikan sebagai tanaman hias (ornamental) sekaligus sebagai percobaan “uji lokasi“.

Hasil percobaan uji lokasi yang dilakukan di Deli pada tahun 1878 menunjukkan hasil produksi yang baik sehingga mendorong tumbuhnya perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia terbentuk pada tahun 1911 di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) yang dimiliki oleh perusahaan Belgia. Oleh sebab itu, tahun 1911 dianggap sebagai awal dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selain perusahaan Belgia, terdapat pula perusahaan Jerman yang membuka usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu pada tahun yang sama. Kemudian perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus berkembang hingga Indonesia merdeka dan menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia saat ini.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang saat ini tersebar di 25 Provinsi di Indonesia tidak terlepas dari kondisi lahan dan iklim Indonesia yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Lahan pertanian di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kesesuaiannya untuk budidaya kelapa sawit (lahan S1, S2, dan S3). Lahan mineral ini diklasifikasikan berdasarkan faktor pembatas seperti curah hujan, bulan kering, elevasi, kemiringan, tekstur tanah, kelas drainase, dan kemasaman tanah. Dan Indonesia memiliki lahan mineral dengan karakteristik yang sangat sesuai untuk perkebunan kelapa sawit dengan indikator curah hujan 1750-3000 mm, bulan kering <1 bulan, elevasi 0-200 m, kemiringan <8%, tekstur tanah lempung berdebu, lempung liat berpasir, dan dengan kemasaman tanah (pH) 5,0-6,0.

Selain lahan mineral, Indonesia juga memanfaatkan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit. Meskipun banyak pihak yang menganggap hal ini sebagai bentuk pengrusakan alam, namun proses budidaya kelapa sawit dapat dilakukan dengan baik pada lahan gambut fungsi budidaya yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Salah satu contoh pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu eksistensi perkebunan kelapa sawit di Negeri Lama, Sumatera Utara mulai tahun 1927 yang luas awalnya  1.302 hektar. Perkebunan ini telah mengalami tiga kali proses peremajaan (replanting) yaitu pada tahun 1968, 1989, dan 2012. Produktivitas kebun sawit gambut ini meningkat pada setiap generasinya yaitu 17 ton TBS/hektar/tahun pada generasi I, 19,7 ton TBS/hektar/tahun pada generasi II, dan 23,9 ton TBS/hektar/tahun pada generasi III. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit baik lahan mineral maupun lahan gambut.

sumber: sawit.or.id

Please follow and like us:

Leave a Reply